Nasionalisme Sempit Mulai Mewarnai Dinamika Sosial Warga
Wamena - Di tengah rutinitas masyarakat yang terus bergerak, muncul sebuah fenomena yang perlahan mulai menyita perhatian para pengamat sosial: nasionalisme sempit. Sikap ini tampak dalam keseharian warga, terutama ketika kecintaan terhadap kelompok atau identitas sendiri berkembang menjadi pandangan tertutup terhadap pihak lain.
Pemahaman tentang Nasionalisme Sempit
Nasionalisme sempit sendiri merupakan bentuk kecintaan berlebihan yang membuat seseorang menganggap kelompoknya paling benar, sekaligus memunculkan rasa curiga atau merendahkan mereka yang berbeda. Dalam beberapa komunitas, sikap tersebut terlihat dari keengganan menerima pendatang, penolakan kerja sama lintas kelompok, hingga munculnya percakapan yang membahas “kami” dan “mereka”.
Kisah di Lingkungan Permukiman
Di sebuah lingkungan permukiman, seorang warga baru yang berniat berbaur sempat merasakan sikap menjaga jarak dari sebagian masyarakat. Meski tidak ditunjukkan secara langsung, tatapan ragu dan jarak sosial itu cukup menciptakan dinding halus yang menghambat rasa kebersamaan.
Harapan dari Warga yang Terbuka
Namun, tidak semua warga bersikap demikian. Sebagian lainnya percaya bahwa keterbukaan merupakan kunci memperkuat solidaritas. Mereka mulai mengajak pendatang untuk terlibat dalam kegiatan bersama, seperti kerja bakti, pertemuan warga, hingga diskusi ringan tentang kebutuhan lingkungan.
Baca juga: Memahami Etnosentrisme, Saat Cinta Budaya Berlebihan Menjadi Penghalang Persatuan
Peringatan bagi Kehidupan Bersama
Para pemerhati sosial menilai bahwa munculnya nasionalisme sempit dapat menjadi peringatan bahwa persatuan tidak boleh hanya dibangun dari kesamaan identitas. Banyak pihak mengajak masyarakat untuk kembali mengedepankan nilai toleransi, gotong royong, serta semangat saling menghargai.
Menjalin Persatuan Melalui Keberagaman
Pada akhirnya, fenomena ini mengingatkan bahwa membangun bangsa tidak hanya soal kebanggaan terhadap identitas sendiri, tetapi juga kemampuan melihat keberagaman sebagai kekuatan. Dengan membuka ruang dialog dan memahami perbedaan, dinding-dinding yang memisahkan dapat berubah menjadi jembatan yang menyatukan kembali. (AAZ)