Fanatisme Kebangsaan, Ketika Kebanggaan Berlebihan Mengaburkan Nilai Kebersamaan
Wamena - Di berbagai daerah, pembahasan mengenai identitas bangsa kembali menjadi sorotan. Masyarakat semakin sering memperbincangkan tentang fanatisme kebangsaan, sebuah sikap yang muncul ketika kecintaan terhadap bangsa sendiri tumbuh secara berlebihan hingga menganggap bangsa lain lebih rendah. Fenomena ini mulai terlihat dalam percakapan daring, ruang pendidikan, hingga interaksi sehari-hari di lingkungan masyarakat.
Ketika Kebanggaan Berubah Menjadi Sikap Merendahkan
Fanatisme kebangsaan pada dasarnya berangkat dari rasa cinta terhadap negara. Namun ketika kebanggaan itu berubah menjadi keyakinan bahwa bangsa sendiri adalah yang paling benar dan paling unggul, sikap tersebut dapat menimbulkan gesekan sosial. Para pengamat kehidupan masyarakat melihat bahwa sikap ini kerap hadir dalam bentuk komentar merendahkan, penolakan terhadap budaya luar, hingga munculnya rasa permusuhan terhadap pihak yang dianggap tidak sejalan.
Baca juga: Memahami Ultra Nasionalisme, Ketika Cinta Tanah Air Melampaui Batas Kewajaran
Contoh di Lingkungan Pendidikan dan Sosial
Di sebuah sekolah menengah, seorang guru mengaku sering melihat perdebatan antar siswa tentang daerah asal yang berubah menjadi saling merendahkan. “Awalnya mereka hanya bercanda soal perbedaan budaya, tetapi lama-lama nada bicara mereka berubah menjadi membandingkan mana yang lebih baik,” ujarnya. Hal-hal kecil seperti ini dinilai sebagai cerminan bahwa fanatisme kebangsaan dapat muncul tanpa disadari.
Sementara itu, di lingkungan masyarakat, beberapa warga menyatakan bahwa mereka mulai merasa tidak nyaman ketika seseorang terlalu menonjolkan kebanggaan daerah atau bangsa tertentu hingga menyinggung pihak lain. Kondisi ini menunjukkan pentingnya pemahaman bahwa cinta terhadap bangsa harus berjalan beriringan dengan sikap menghargai perbedaan.
Peran Pendidikan dan Sikap Bijak dalam Mengurangi Fanatisme
Meski demikian, sejumlah tokoh pendidikan dan sosial menekankan bahwa fanatisme kebangsaan bukan sesuatu yang tidak dapat diatasi. Dengan pendidikan yang inklusif, diskusi terbuka, serta pembiasaan untuk menghargai keberagaman, masyarakat dapat kembali pada pemahaman bahwa kebanggaan terhadap bangsa mestinya menjadi kekuatan untuk membangun, bukan alasan untuk merendahkan.
Fenomena fanatisme kebangsaan ini menjadi pengingat bahwa kecintaan pada bangsa sendiri perlu dibarengi dengan kebijaksanaan. Di tengah dunia yang saling terhubung, kemampuan untuk menghargai bangsa lain merupakan kunci untuk menjaga keharmonisan sosial dan memperkuat persatuan. (AAZ)