Parliamentary Threshold di Pemilu Indonesia: Sejarah, Aturan, dan Kontroversinya
Wamena – Parliamentary Threshold mempunyai istilah yang berkaitan dengan sebuah Partai Politik (Parpol) peserta Pemilihan, Parliamentary Threshold merupakan sebuah syarat bagi partai politik agar lolos parlemen.
Di dalam setiap Pemilihan Legislatif yang berlangsung di Indonesia, ada sebuah istilah yang selalu menjadi munculnya perdebatan hangat: Parliamentary Threshold atau ambang batas parlemen. Istilah ini berfokus pada persentase minimal suara nasional yang harus dimiliki oleh partai politik agar dapat memperoleh kursi di Parlemen.
Kebijakan ini dianggap sangat penting sehingga bisa menyederhanakan sistem kepartaian, tetapi di satu sisi, juga sering dituding membatasi representasi politik rakyat kecil.
Sejarah awal mulainya Parliamentary Threshold di Indonesia
Parliamentary Threshold baru pertama kali diterapkan di dalam sistem pemilihan pada saat Pemilu 2009 berlangsung, menurut Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Saat itu, ambang batas telah ditetapkan sebesar 2,5% suara sah nasional.
Kebijakan ini kemudian mengalami perubahan dalam pemilihan selanjutnya:
· Pemilu 2009: 2,5%
· Pemilu 2014: 3,5%
· Pemilu 2019 dan 2024: 4%
Kenaikan ini dimaksudkan untuk mengurangi fragmentasi partai di parlemen, sehingga Ketika pembentukan koalisi dan saat pengambilan keputusan politik bisa lebih efektif.
Kontroversi: antara efisiensi politik dan keadilan demokrasi
Walau memiliki sebuah tujuan untuk membuat sistem di dalam politik yang lebih stabil, Parliamentary Threshold tidak lepas dengan sebuah kritik dan juga kontroversi.
Pihak lain banyak yang memberikan penilaian terkait ambang batas ini yang justru sistem ini mengabaikan suara dari masyarakat, terutama mereka yang memilih partai kecil sehingga tidak lolos atau tidak mendapatkan kursi di parlemen. Sehingga mengakibatkan, jutaan suara pemilih menjadi hangus atau sia-sia karena tidak terkonversi menjadi kursi.
Kemudian ada juga dari beberapa pengamat yang mengatakan bahwa kebijakan ini cenderung atau lebih menguntungkan partai besar sehingga menghambat regenerasi politik nasional.
Pandangan Pro dan Kontra
Pihak – pihak yang sependapat dengan adanya Parliamentary Threshold menilai bahwa:
· Dapat menciptakan sebuah Pemerintahan yang stabil dan efektif
· Bisa mengurangi sebuah fragmentasi politik di parlemen
· Banyak pihak menilai bahwa bisa mempermudah koordinasi antar partai dalam sebuah koalisi Pemerintahan
Sementara ada juga pihak yang menolak, mereka beralasan bahwa:
· Ambang batas menyebabkan suara dari masyarakat tidak terwakili secara adil
· Partai kecil bisa kehilangan kesempatan untuk berkembang
· Pihak yang menolak beranggapan bahwa demokrasi menjadi kurang inklusif dan elitis
Mencari Keseimbangan Demokrasi
Parliamentary Threshold masih menjadi perdebatan di Indonesia, ini mencerminkan sebuah dilema klasik demokrasi modern yaitu antara efektivitas sistem politik dan sebuah keadilan representasi rakyat.
Apapun alasannya, sangat jelas bahwa ambang batas parlemen ini akan tetap terus menjadi topik yang penting dalam diskursus demokrasi Indonesia, terutama setiap menjelang Pemilu baru. (REZ)
Baca juga: Mengapa ada Lagu Hymne dan Mars KORPRI? Begini Makna dan Tujuannya bagi ASN Indonesia