
Suara Adat, Suara Demokrasi: Kisah KPU Nduga dan Suku Asli
Wamena - Kabupaten Nduga di wilayah Papua Pegunungan dikenal sebagai salah satu daerah dengan kekayaan budaya yang masih sangat kuat. Di daerah ini, kehidupan masyarakat adat berjalan berdampingan dengan alam dan tradisi yang diwariskan turun-temurun. Suku-suku seperti Nduga, Yali, Lani, dan Dani hidup dalam tatanan sosial yang penuh nilai kebersamaan dan gotong royong.
Namun di balik keaslian budaya itu, ada semangat baru yang tumbuh pelan-pelan, semangat untuk ikut menentukan arah masa depan lewat pemilu. Di sinilah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Nduga mengambil peran penting, menghadirkan demokrasi dengan cara yang tetap menghormati adat dan kearifan lokal.
Musyawarah Adat, Cermin Demokrasi yang Telah Lama Hidup
Masyarakat adat di Nduga sejatinya telah lama mengenal prinsip-prinsip yang menjadi dasar demokrasi: mendengar pendapat bersama, mencapai mufakat, dan menjaga kebersamaan. Dalam setiap musyawarah adat, keputusan diambil tidak dengan suara terbanyak, tetapi lewat kesepakatan hati dan rasa.
Nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi pintu masuk bagi KPU Nduga ketika mengajak masyarakat berpartisipasi dalam pemilu. Demokrasi bukan hal asing bagi mereka, melainkan kelanjutan dari tradisi bermusyawarah yang telah mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari.
KPU Menyapa Masyarakat Lewat Pendekatan Budaya
Dalam menjalankan sosialisasi dan tahapan pemilu, KPU Nduga tidak datang dengan pendekatan formal semata. KPU memilih berbicara dengan tokoh adat, pemuka gereja, dan kepala suku, sambil duduk bersama. Di tempat inilah, pesan-pesan tentang pentingnya memilih dan menjaga kejujuran dalam proses demokrasi disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan penuh penghormatan.
Kadang, sosialisasi dilakukan bersamaan dengan kegiatan adat seperti bakar batu atau acara kampung. Dengan cara ini, kehadiran KPU tidak terasa asing justru menjadi bagian dari kehidupan masyarakat itu sendiri.
Dari Lembah ke TPS, Suara Adat Menggema
Bagi KPU Nduga, medan yang berat bukan alasan untuk menyerah. Pegunungan terjal, sungai besar, dan jarak antar kampung yang jauh mereka tempuh demi memastikan setiap warga mendapat kesempatan yang sama untuk memilih.
Momen paling membahagiakan adalah ketika masyarakat datang ke TPS dengan pakaian adat dan membawa senyum bangga. Di situ terlihat jelas bahwa demokrasi tidak hanya milik kota besar, tetapi juga tumbuh kuat di tanah adat Papua. Setiap suara yang tercatat adalah bukti bahwa masyarakat adat Nduga ikut menentukan arah bangsa dengan caranya sendiri.
Harmoni antara Budaya dan Demokrasi
Kisah di Nduga menunjukkan bahwa demokrasi bisa berjalan selaras dengan adat, tanpa harus menyingkirkan satu sama lain. Pendekatan yang menghormati budaya justru membuat masyarakat merasa dihargai dan terlibat penuh.
KPU Nduga berhasil membuktikan bahwa demokrasi tidak selalu harus tampil kaku dan formal. Ia bisa hadir hangat, sederhana, dan dekat dengan kehidupan masyarakat. Suara yang lahir dari balai adat kini bergema hingga ke TPS menjadi suara rakyat, suara adat, sekaligus suara demokrasi.
Dari Tanah Adat untuk Indonesia
Apa yang dilakukan masyarakat dan KPU Nduga adalah cermin bahwa demokrasi bisa tumbuh dari akar budaya sendiri. Dari lembah hingga pegunungan, dari kampung ke kampung, semangat untuk ikut menentukan masa depan kini hidup di hati masyarakat adat.
Dari Nduga, kita belajar bahwa demokrasi sejati bukan sekadar memilih pemimpin, tetapi menjaga nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan rasa hormat yang telah lama menjadi napas kehidupan di Tanah Papua. (HY)
Baca Juga: Jingle Pilkada Papua Pegunungan 2024 Meriahkan Sosialisasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur